Semarang - Kasus kekerasan serta intimidasi terhadap jurnalis masih menjadi momok perbincangan setiap tahunnya. Menilik ke belakang, pada tahun 2021 terdapat salah satu kasus yang menjadi perhatian yaitu penganiayaan yang dialami oleh salah seorang jurnalis Tempo di Surabaya. Bentuk dari penganiayaan mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, pelarangan liputan, ancaman, serta penahanan. Tragedi penganiayaan atau intimidasi tersebut terulang kembali pada awal tahun 2022 terhadap jurnalis yang bertugas melakukan liputan di Desa Wadas.
Kericuhan terjadi, bermula karena dijadikannya Desa Wadas sebagai lokasi tambang batuan andesit untuk pembangunan bendungan, yang membuat sebagian warga Wadas tidak setuju karena adanya pertimbangan potensi kerusakan yang akan ditimbulkan setelahnya. Hal tersebut mengundang para jurnalis untuk menjalankan tugas dan kewajiban dalam memproduksi sebuah berita, yaitu dengan melakukan peliputan di Desa Wadas tersebut. Namun, kehadiran para jurnalis justru malah menimbulkan pertentangan antara warga Wadas yang pro dan beberapa aparat yang bertugas. Melihat hal tersebut, kebebasan pers jurnalis di Indonesia perlu lebih ditegakkan kemerdekaannya. Lantas, apa hubungan antara konflik yang terjadi di Desa Wadas dengan Kebebasan Pers Jurnalistik di Indonesia?
Pada hari Rabu (23/02/2022), UKM White Campus telah melakukan wawancara secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting bersama Kak Dafi yang merupakan salah seorang jurnalis dari Kompas. Dalam wawancara yang berlangsung, Kak Dafi menyampaikan tanggapannya mengenai konflik kekerasan yang terjadi di Wadas. “Menjadi fenomena yang disayangkan,” ucapnya. Pasalnya, tidak hanya kekerasan terhadap masyarakat sipil saja, tetapi juga ditemukan adanya penghadangan terhadap jurnalis yang bertugas pada saat itu. Padahal, dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis memiliki kebebasan yang diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih jelasnya lagi, pada pasal 4 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Memang untuk saat ini, kebebasan pers di Indonesia dapat dikatakan masih belum maksimal. Melansir dari riset yang dilakukan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada tahun 2021, menyatakan bahwa adanya 88 kekerasan yang dialami oleh jurnalis saat bertugas dan sebagian besar yang melakukannya adalah aparatur hukum. Namun, para jurnalis tidak perlu khawatir jika dirasa kebebasan persnya diganggu. Para jurnalis dapat berserikat bersama organisasi jurnalistik seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), atau organisasi jurnalistik lainnya untuk dibantu dalam mengurus prosedur hukum yang ada. Asalkan, para jurnalis menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan etika pers. Ramainya perbincangan berita tentang Wadas, tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum yang memberitakan informasi atau berita hoax. Maka dari itu, jurnalis harus mampu untuk mengambil langkah dalam memaksimalkan informasi yang ada sehingga berita yang disampaikan dapat menjadi berita yang faktual dan menarik bagi para pembaca. Seperti beberapa poin yang telah disampaikan oleh kak Dafi yang menyatakan bahwa para jurnalis harus melakukan riset, memahami kesukaan pembaca seperti apa, melakukan diskusi, dan menguasai media sosial. Selain itu, perlu adanya pondasi dari masing-masing media untuk tidak mempublikasikan informasi atau berita yang bersifat hoax.
Melihat banyaknya media yang mengangkat berita tentang Wadas, ternyata masih banyak berita lainnya juga yang tidak kalah menarik untuk diangkat. Dalam menghadapi banjiran berita yang ada di Indonesia tersebut, para jurnalis juga harus bisa memilah berita mana yang layak untuk diangkat dan yang tidak layak untuk diangkat. “Yang sedang viral- viral, berita-berita yang bercerita, kalau politik musiman,” jelas Kak Dafi mengenai topik yang menarik untuk pasar Indonesia.
Terlepas dari kebebasan para jurnalis yang diatur dalam Undang-undang, para jurnalis tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang disampaikannya. Apapun berita yang dipilih untuk diangkat, para jurnalis harus ingat fungsi berita tersebut. Salah satunya, yaitu untuk mencerdaskan para pembacanya. Hal tersebut juga bisa menjadi renungan untuk para jurnalis apakah berita yang disampaikan berdampak positif bagi para pembacanya atau tidak.
Reporter: Jasmine Janelle
Komentar
Posting Komentar